Jakarta, Karosatuklik.com – Massa Partai Buruh dan sejumlah ormas lainnya bakal menggelar demonstrasi di depan Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta pada Senin, 7 Februari 2022 demi menolak pembahasaan UU Cipta Kerja.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal, menyampaikan aksi ini bukan hanya digelar di DKI Jakarta, melainkan pula di seluruh kota industri di Indonesia. Seperti Bandung, Semarang, Jepara, Surabaya, Makassar, Aceh, Medan, Banjarmasin dan kota-kota lainnya.
“Aksi ini dalam rangka terus mengawal dan memastikan bahwa Omnibus Law, RUU Cipta Kerja yang sudah masuk Prolegnas di DPR tidak dibahas oleh DPR, yaitu dengan kata lain dikeluarkan oleh Prolegnas pembahasan oleh DPR dan pemerintah terkait RUU tersebut,” kata Said Iqbal dalam konferensi pers daring, Minggu (6/2/2022).
Partai Buruh mendesak supaya UU itu dicabut untuk dibahas. Mengingat Mahkamah Konstitusi atau MK telah menyatakan bahwa proses pembentukan RUU Cipta Kerja itu inkonsistusional bersyarat dan cacat formil.
“Oleh karenanya tidak layak untuk dibahas kembali oleh DPR RI bersama pemerintah,” tegasnya.
Said Iqbal mengatakan, pihaknya meminta pemerintah tidak kukuh untuk terus membahas RUU Cipta Kerja tersebut.
Solusi Penataan dan Harmonisasi Existing Regulasi
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law. Anggota Badan Legislasi DPR-RI, Fraksi Partai Golkar Christina Aryani mengatakan, pemerintah dan DPR akan melakukan langkah perbaikan sebelum masa tenggat dua tahun yang diputuskan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Artinya DPR sangat terbuka untuk melakukan perbaikan hal-hal yang dianggap inkonstitusional sebagaimana diputuskan MK. Mekanismenya seperti apa tentu DPR akan bersama Pemerintah melakukan langkah-langkah perbaikan. Saya rasa ini harus ditindaklanjuti segera sehingga sebelum tenggat waktu dua tahun harusnya sudah bisa selesai,” ujar Christina kepada wartawan, Jumat (26/11/2021).
Menurut Christina, metode pembentukan peraturan perundangan omnibus law diperlukan untuk pembenahan peraturan perundang-undangan yang ada. Untuk membenahi tumpang tindih peraturan, ketidaksesuaian materi muatan, hiper regulasi, sampai problem ego sektoral.
“Saya berpendapat Omnibus Law menjadi jalan keluar untuk mengatasi berbagai persoalan peraturan perundang-undangan yang dialami Indonesia secara cepat, efektif dan efisien serta dapat menjadi solusi untuk melakukan penataan dan harmonisasi existing regulasi,” jelasnya.
Untuk itu, Christina memandang, perlu revisi UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menjadi jalan terbaik untuk mengadopsi metode omnibus law. Meski metode ini sudah digunakan dalam sejumlah undang-undang seperti UU Cipta Kerja, Perppu 1/2020, PP 9/2021 tentang Perlakuan Perpajakan untuk Kemudahan Berusaha, dan Permenkeu 18/PMK.03/2021.
“Kami sepakat bahwa revisi UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan akan menjadi jalan terbaik untuk mengadopsi teknis aplikasi metode omnibus law dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia sekaligus menjadi kesempatan untuk memikirkan solusi permasalahan tumpang tindih peraturan dan ketidaksesuaian materi muatan,” ujar Christina.
Ditolak MK
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja atau Omnibus Law.
Meski demikian, MK menilai pembentukan UU tersebut tak berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Karena itu, MK memerintahkan agar UU Cipta Kerja diperbaiki dalam jangka waktu 2 tahun.
“Menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai, tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan,” ujar Ketua MK Anwar Usman dalam putusannya, Kamis (25/11/2021).
Dalam putusannya, Anwar menyatakan UU Cipta Kerja masih berlaku hingga dilakukan perbaikan dengan tenggat waktu dua tahun. Anwar meminta pemerintah maupun DPR melakukan perbaikan UU Cipta Kerja.
Apabila dalam jangka waktu dua tahun sesuai dengan ketetapan Majelis Hakim MK UU tersebut tidak diperbaiki, maka menjadi inkonstitusional atau tak berdasar secara permanen.
“Menyatakan apabila dalam tenggang waktu dua tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja harus dinyatakan berlaku kembali,” tegas Anwar.
Selain itu, MK juga memerintahkan menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas berkaitan dengan UU Ciptaker.
“Serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja,” kata dia. (R1/Liputan6.com)