Kabanjahe, Karosatuklik.com – PAHLAWAN menjadi penting karena ia memberi inspirasi. Inspirasi untuk selalu memperbaiki kondisi tanah tumpah darahnya.
Peristiwa heroik dalam sejarah perjuangan bangsa, tahun 1946 dikenal dengan “Bandung Lautan Api” yang memantik api semangat para pejuang untuk melawan penjajahan dengan cara apapun. Demikian juga pertempuran dahsyat 10 November di Surabaya.
Namun, perlu di ketahui juga bahwa ada satu lagi kisah yang serupa dengan ini, yang luput dari catatan kesejarahan. Satu kisah perjuangan masyarakat Karo dalam membela Republik Indonesia, yang usianya baru mendekati dua tahun saat itu.
Kisah itu terjadi saat Agresi I Militer Belanda terhadap Republik Indonesia dengan melancarkan serangan ke seluruh sektor pertempuran Medan Area, termasuk Tanah Karo saat itu.
Karo Lautan Api menjadikan banyak para Simbisa Karo gugur di medan pertempuran. Untuk menghargai jasa para pejuang kusuma bangsa dari Karo, Presiden Soekarno, hanya menetapkan dua (2) Makam Pahlawan di Indonesia, yakni satu di Kota Kabanjahe dan satu lagi di kota Surabaya. Pertempuran 10 November di Surabaya yang menjadi cikal bakal Hari Pahlawan menjadi perang terbuka terbesar Indonesia sesudah proklamasi kemerdekaan.
Inilah salah satu penyebab rumah adat Karo “Siwaluh Jabu” yang merupakan warisan arsitektur leluhur Karo yang bernilai tinggi, dalam perkembangannya hanya tinggal sedikit sekarang ini. Asset budaya ini bisa pupus tergerus alam modernisasi, menenggelamkam history peradaban sejarah Karo, salah satu suku bangsa di Indonesia.
Melihat begitu besarnya pengorbanan rakyat Karo saati itu, wakil presiden Drs Mohammad Hatta menulis surat pujian kepada rakyat Karo dari Bukit Tinggi pada tanggal 1 Januari 1948.
Cuplikan surat tersebut, “Saya bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putra Indonesia sejati. Rumah yang terbakar, boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya. Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara, biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan,” ujar Moh Hatta.
Bisa kita simpulkan, Presiden pertama RI, Ir Sokarno dan Wakil Presiden Moh Hatta mengakui bagaimana heroiknya perjuangan laskar dan pejuang-pejuang karo yang dikenal, militan dan patriotisme NKRI. Hal itu bisa dibuktikan lagi, lokasi pengasingan Bung Karo di Lau Gumba, Berastagi. Bahkan disebut-sebut juga, ide Pancasila yg digali Bung Karo lahir dari Pijer Podi, Lambang dan simbol Pemkab Karo. Masih perlu dianalisa kebenarannya.
Mungkin dipengaruhi romantisme kesejarahan Simbisa Karo, di kota Kabanjahe diabadikan sejumlah nama jalan. Seperti, Kapten Pala Bangun, Kapten Bangsi Sembiring, Letnan Rata Perangin Angin, Kapiten Purba, Nabung Surbakti, Kapten Maryam Ginting, Kapten Bom Ginting, Kapten Selamat Ketaren, Letnan Abdul Kadir, Kapten Upah Tendi Sebayang, Kapten Sukaraja Munthe. Dan menjadikan Kota Kabanjahe sebagai salah satu kota yang paling banyak mengambil nama jalan dari pahlawan lokalnya. Dan masih banyak lagi pejuang yang gugur dan layak diabadikan selain nama-nama diatas.
Selanjutnya, ada 3 (tiga) simbisa (pejuang) Karo yang dinobatkan sebagai pelopor pejuang karo yang mempunyai sikap militansi yang sangat tinggi yaitu : Djamin Ginting, (Letnan Jendral), Selamat Ginting (Mayor TNI ), Payung Bangun (Mayor TNI). Dan dua orang Pahlawan Nasional yakni, Kiras Bangun (Garamata) dan Letjen Djamin Ginting.
Nama satuan militer TNI yang berciri khas Karo yakni, Batalyion Infanteri 125/Simbisa di Kabanjahe, Armed 2/105 Kilap Sumagan di Delitua, Deliserdang, Batalyion Kavaleri 6/Serbu (Naga Karimata) di Jalan Bunga Raya/Asam Kumbang, Medan Sunggal. Seperti diketahui bahwa cerita legenda tentang Putri Hijau dan Naga Karimata merupakan legenda yang berasal dari Karo.
Tugu Bambu Runcing yang menjadi ikon Kota Kabanjahe dan Tugu Pejuang di Kota wisata Berastagi menunjukkan bahwa daerah itu daerah pejuang. Bambu runcing memang alat teramat sederhana, akan tetapi ditangan para pejuang heroik dan patriotik mempunyai keampuhan luar biasa, sehingga dapat mengalahkan persenjataan yang lebih modern.
76 Tahun Merdeka
Kalau kita tarik setelah 76 tahun merdeka, apakah tidak pantas masyarakat Karo “menuntut” pembangunan infrastruktur berskala nasional? Sebenarnya, menyangkut sebuah jalan modern, tanpa rakyat “merengekpun” sudah menjadi kewajiban pemerintah memberi jalan yang bagus, nyaman dan tanpa kemacetan buat rakyatnya. Karena rakyat di 11 kabupaten itu juga bagian NKRI yang warganya juga bayar pajak.
Terlebih lagi, Jalan Letjen Djamin Ginting merupakan lintasan Medan – Berastagi adalah interkoneksi 11 kabupaten Sumut/Aceh, yang membawa hasil tambang dari perut bumi daerahnya masing-masing, seperti dolomit, air yang sudah diolah dalam kemasan (Aqua), hasil pertanian, perkebunan yang super melimpah, perikanan dan masih banyak lagi kekayaan daerah yang dibawa ke kota Medan.
Kalau bicara soal hutan yang luas, Kabupaten Karo juga dikenal sebagai penyumbang oksigen terbesar bagi 2 juta penduduk kota Medan, sehingga sudah sepantasnya Pemko Medan maupun Pemprovsu memberi perhatian lebih ke daerah ini. Sudah sering terjadi kemacetan berjam-jam di Jalan Medan – Berastagi sehingga ribuan ton buah-buahan dan sayur mayur dari daerah ini membusuk dan rusak, tidak laku lagi di jual di pasar induk Medan. Disaat seperti itu, dimanakah pemerintah?
Tidak sedikit pula kerugian yang dialami pengusaha Bus Antar Kota Dalam Provinsi setiap terjadi kemacetan. Bahan sembako/grosir utk 11 kabupaten yang disuplai dari kota Medan, tertahan beberapa jam saja, harga-harga langsung melambung di daerah tujuan. Berbeda dengan hasil pertanian, jika kena kemacetan yang cukup lama, harga langsung anjlok di daerah asal, tapi di daerah tujuan lengsung meroket naik cukup significan.
Dampak Kemacetan Rp4 Milyar
Dampak kemacetan yang kerap terjadi sudah sangat merugikan dunia pariwisata, perhotelan, pertanian, dunia usaha dan sektor-sektor lainnya disamping sudah mulai mengganggu aktivitas sosial budaya, seperti upacara adat kematian dan perkawinan.
Bahkan mobil ambulan (emergency) yang kerap melintas dari 11 kabupaten di Sumut dan Aceh menuju Rumah Sakit ternama di Medan sering terjebak di tengah antrian kemacetan panjang. Belum lagi ticket pesawat ke bandara KNIA yang hangus, akibat terjebak kemacetan parah. Belum lagi warga yang menginap di tengah jalan sudah cukup banyak yang merasakannya. Setiap kemacetan selama 6 jam saja sehari, kerugian mencapai Rp 3 milyar hingga Rp 4 milyar.
Dengan kondisi jalan wisata Medan – Kabupaten Karo yang semakin buruk terjadi disparitas pembangunan kawasan selatan dan utara Danau Toba. Kawasan Selatan, dua bandar udara, Tol Medan – P.Siantar, Tol Tebing Tinggi – Parapat, tahun ini pembangunan jalur kereta api Kisaran – Siantar – Medan.
Sementara pintu gerbang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Danau Toba bagian utara jalur Medan – Kabupaten Karo, tidak memiliki daya saing dan semakin jauh tertinggal.
Solusinya, peningkatan Jalan Medan – Berastagi spt Tol/Pembangunan jembatan layang semakin terasa dibutuhkan.
Mengenai jalan tol, jangan dilihat dari jalan Medan – Brastagi saja, artinya jangan lihat satu sisi saja, banyak aspek yang akan akan kecipratan dampak positif dari pembanguinan tersebut, disamping memang ada juga dampak negatifnya sebagai konsuekensi sebuah pembangunan berskala besar. Tapi tentunya lebih banyak positifnya dalam percepatan pemerataan pembangunan dan meningkatkan daya saing.
“Pengembangan wilayah 11 kabupaten sekaligus untuk meningkatkan daya saing daerah tersebut. Ikatan Cendikiawan Karo Sumatera Utara, sudah buat kajian pendahuluan,” ucap Budi Derita Sinulingga.
Tol Medan-Berastagi ini, sambung Ketua ICK Sumut, mendesak dibangun untuk mengurai kesenjangan kawasan utara yang sangat minim terobosan pembangunan infrastruktur berskala nasional dibandingkan dengan kawasan selatan Danau Toba.
Tol ini juga sekaligus menjawab tantangan kepadatan volume kendaraan beberapa tahun mendatang di Jalan Letjen Djamin Ginting Medan – Berastagi. “Ini tidak akan terelakkan, pertambahan berbagai jenis moda transportasi begitu pesat, sementara luas badan jalan sangat terbatas,” ungkapnya kepada penulis.
Horor Menakutkan
Pertanyaan reflektif sekarang, apakah pantas setelah 76 merdeka, jalan Medan – Berastagi yang bagai arena “perlombaan” itu dibiarkan menjadi “horor” yang menakutkan bagi masyarakat akibat seringnya macet parah? Otomatis, melahirkan dampak negatif secara psikologis, berupa munculnya perasaan trauma dan was-was bagi masyarakat saat hendak bepergian atau melintas di jalur yang dikenal dengan tikungan-tikungan ekstrem, tanjakan dan turunan yang tajam menguji adrenalin itu.
Rasa trauma yang menyerang masyarakat itu wajar terjadi. Sebab, kemacetan panjang tersebut sering terjadi tiba-tiba dan tidak pernah diperkirakan sebelumnya. Akibat adanya trauma dan kekhawatiran bakal menghadapi macet, tidak jarang banyak orang kemudian mengurungkan niat untuk menempuh perjalanan dari Medan ke Kabanjahe dan Sidikalang maupun sebaliknya, jika tidak benar-benar sangat urgen dan menjadi sebuah keharusan.
Menelisik hari jadi Pemkab Karo lewat jejak sejarah, menyikapi dan untuk memenuhi azas kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintah daerah serta merefleksi kepentingan sejarah, sosial dan budaya Tanah Karo, terungkap bahwa 8 Maret 1946 adalah hari jadi Pemkab Karo.
Namun ada kejadian menarik, jika saja Komandan Pasukan Halilintar, Mayor Selamat Ginting tidak menodongkan senjata dan mengarahkanya pelatuknya ke kepala Utusan Keresidenan Sumatra Timur, sembari berteriak “Mate tem”. Mungkin inilah kisah lahirnya sebuah pemerintah kabupaten paling dramatis di Indonesia. Karena, tidak akan pernah ada Pemkab Karo, kalau tidak ada nyali berani menodongkan senjata dari Mayor Selamat Ginting. Itu fakta sejarah yang diakui akademisi dan pelaku sejarah.
Seketika itu juga, kesepakatan tercapai. Wilayah Kabupaten Karo disetujui dan ditandatangani, dengan bupati pertama disepakati dan langsung diangkat Rakoetta Brahmana.
Andai Saja Simbisa Karo..
Andai saja.. Simbisa Karo seperti Mayor Selamat Ginting, Kapten Pala Bangun, Letjen Djamin Ginting, Kapten Bangsi Sembiring, Kapten Tama Ginting, apakah mereka tidak murka dan marah melihat ketidakadilan selama bertahun-tahun di Jalan Letjen Djamin Ginting Medan – Berastagi?
Otoritas jalan negara Medan – Berastagi adalah kewenangan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI melalui Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional (BBPJN) II Medan yang mencakup wilayah Sumut hingga Riau. Tentunya Gubsu sebagai kepala pemerintahan provinsi yang harusnya all out memperjuangkan pembangunan tol di wilayahnya karena menyangkut sejumlah kabupaten.
Mohammad Yamin
Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam merumuskan hukum dasar negara, Mohammad Yamin pernah mengingatkan. Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat.
Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet.
Pertanyaanya sekarang, disaat kita tidak lagi menghadapi penjajah, kenapa elit kita di pusat, begitu berat merealisasikan jalan tol yang sebenarnya menjadi tanggungjawab negara. Bicara soal layak, apakah lebih layak dan patut anggaran negara (APBN) itu digunakan lebih besar untuk belanja pegawai dan operasional pemerintah serta membangun gedung-gedung kantor pemerintahan baru dan plesiran pejabat ke luar negeri, yang sama sekali tidak bersentuhan langsung dengan kepentingan kesejahteraan rakyat.
Bagaimana bisa sejumlah daerah seputaran Karo mampu menghadapi persaingan global yang semakin kompetitif. Kedepan, politik anggaran kita harus berpihak kepada rakyat serta meminimalisir bocoran-bocoran anggaran. Ini yang terabaikan selama ini. Intinya, hakekat dari demokrasi, adalah merumuskan kebijakan yang semakin dekat dengan rakyat.
Counsellor of the State Council of PRC, Tang Min mengatakan, Infrastruktur adalah kunci utama untuk sebuah negara agar bisa berkembang lebih jauh lagi dan maju dalam segi perekonomiannya. Mengingat hal tersebut, maka pemerintah China pun mulai giat membangun infrastruktur pada akhir 1990-an.
Sekarang, Amerika saja pun tercengang melihat spektakulernya kemajuan infrastruktur negeri tirai bambu itu. China giat untuk membangun jalan tol yang bertujuan untuk melancarkan kegiatan logistik dan distribusi perekonomian.
Soal tol bukan melulu soal provit, lihat tol trans Papua, Kalimantan dan Sulawesi. Tapi utk mengejar dan memacu ketertinggalan pembangunan. Tanpa ada solusi konkret dan permanen seperti pembangunan bebas hambatan (Tol) atau jembatan layang, sangat wajar sejumlah elemen masyarakat berteriak dan mendesak Pemprovsu dan Pemerintah Pusat memperhatikan secara serius.
Kalau Sumbar punya Kelok 9, sudah seharusnya Sumut juga punya jalan tol atau kelok 11 yang melingkar di punggung pegunungan Bukit Barisan menuju Berastagi. Karena, infrastruktur jalan memiliki multidimensi yang sangat luas.
Pepatah Cina mengatakan, membangun jalan berarti membangun negara. Karena jalan adalah pemicu dari evolusi berbagai sektor kehidupan, ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya. Bisa dibayangkan, betapa luas spektrum infrastruktur jalan terhadap kesejahteraan sosial sebuah bangsa.
| Robert Tarigan, SH – Pimpinan Redaksi |