Kabanjahe, Karosatuklik.com – Rasanya lebih manis, aromanya lebih kuat, lebih banyak airnya dan lebih segar, serta kulitnya lebih tebal dan lebih mudah dikupas. Varietasnya jeruk siam madu, tapi jeruk Karo hingga ke Pulau Jawa lebih dikenal dengan jeruk Brastagi.
Kali ini, Catatan Redaksi, Sabtu (17/10/2020) Pukul 15.00 WIB, mengangkat jeruk Berastagi yang terancam tinggal kenangan ditengah kompetitifnya persaingan global untuk disajikan kepada pembaca kami. Lama bertahan sebagai tanaman favorit, bahkan tanaman jeruk sempat memanjakan petani Karo.
Kabupaten Karo telah lama dikenal sebagai sentra penghasil “jeruk Berastagi” di Sumatera Utara. Namun karena serangan hama lalat buah telah berlangsung lama dan belum mampu diatasi, petani di Karo pesimistis untuk bisa bertahan menanam pohon jeruk.
Selain itu, Kementerian Pertanian hingga pemangku kepentingan di level provinsi dan daerah juga patut dikritik, berpuluh tahun petani tangguh dari Karo hidup bersahabat dengan hama lalat buah, tidak mampu memberantas hama yang sangat ‘menjengkelkan’ petani itu. Padahal berbagai kemajuan tekhnologi yang sangat pesat dan luar biasa saat ini, kita berharap bisa membantu petani.
Sengatan hama lalat buah (bactrosera spp) cukup dahsyat, penurunan produksi buah jeruk bisa mencapai 40 – 50 persen. Dampaknya cukup terasa. Berdasarkan data yang dihimpun dari Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Kabupaten Karo, luas pertanaman, panen dan produksi jeruk pun mengalami penurunan drastis setiap tahunnya.
Tahun 2015 misalnya, luas tanam komoditi jeruk di Kabupaten Karo yakni, 11.131 hektare dengan luas panen 5.308 hektare dan produksi 242.779 ton. Sedangkan pada tahun 2016, luas tanam turun dan menjadi 10.449 hektare, dengan luas panen 4.817 dengan produksi 234.200 ton.
Penurunan terus terjadi hingga triwulan ketiga tahun 2018 yakni, luas tanaman jeruk menjadi 8.992 hektare, dengan luas panen 3.723 hektare dan produksi berkisar 162. 507 ton.
Penurunan luas tanam dan produksi tersebut disebabkan serangan hama lalat buah disamping harga jual stagnan, bahkan lebih sering dihargai sangat rendah.
Harga jual rendah, diperparah lalat buah “cit-cit” yang hingga sekarang belum teratasi, hal itu seiring dengan belum adanya kesadaran total masyarakat petani untuk bersama-sama membasmi serangan hama lalat buah.
Kerusakan yang ditimbulkan oleh larva lalat buah menyebabkan gugurnya buah sebelum mencapai kematangan yang diinginkan. Hal ini sangat merugikan petani, karena dapat menghambat peningkatan produksi dan mutu buah.
Frustasi menghadapi serangan hama lalat buah, banyak petani “banting stir” mengalihkan tanaman jeruk yang lama bertahan sebagai tanaman primadona perlahan menjadi lahan kebun kopi. Seiring waktu, pertanian kopi semakin berkembang menggantikan tanaman jeruk. Walaupun akhirnya, kopi juga tidak memberi jaminan kesejahteraan bagi petani.
Saat ini tanaman kopi di Karo sudah mulai berkembang puncaknya ditahun 2019 petani menanam kopi mencapai 10.178,44 ha dengan luas panen 6.875 ha, produksi 13.279.74 ton produktifitas 1.931,60 kg/ha per tahun.
Meski harus menantang alam, petani jeruk di Tanah Karo tetap setia dengan mata pencaharian utamanya. Mereka tetap bertani jeruk, ditambah tanaman sayuran lain seperti kol dan bawang untuk membiayai kebutuhan anak sekolah dan kuliah di Jawa serta biaya hidup sehari-hari.
Mereka tak kenal kata menyerah, tetapi berusaha bergandengan tangan dengan alam yang kadang kurang bersahabat. Jeruk tetap menjadi andalan utama, kendati tak sejaya yang dulu. Menyekolahkan anak hingga ke perguruan tinggi sudah menjadi tradisi bagi orang tua di daerah yang sedang menghadapi dua bencana sekaligus, yakni bencana alam Gunung Sinabung dan bencana non alam pandemi Covid-19.
Namun belakangan ada tren menarik, bagi warga yang memiliki ladang jeruk di pinggir jalan menuju kawasan wisata, menawarkan wisata petik sendiri buah jeruk. Wisatawan dapat membeli buah jeruk langsung ke kebun dengan cara petik sendiri. Harga buah jeruk dari hasil pilih dan petik sendiri langsung dari kebun tersebut seharga Rp.25.000/kg.
Udara sejuk sepanjang musim dengan sajian panorama perbukitan dan pegunungan yang indah, menjadi sebuah karunia dan keunggulan yang hadir di daerah wisata Kabupaten Karo. Ya, pertanian dan pariwisata, dua sektor andalan yang menjadi nafas warga daerah itu secara umum sangat membutuhkan inofasi dan sentuhan total dari pengambil kebijakan.
Tidak usah muluk-muluk, kebijakan politik anggaran yang memihak petani secara umum sudah sangat membantu 80 % petani yang menjadi mayoritas atau tulang punggung ekonomi penduduknya yang dikenal ulet dan tangguh. Disaat harga jual tidak ada, sebentar saja perhatikan mereka.
Masa keemasan pasar terbesar jeruk keling, atau jeruk siam madu, lebih dikenal jeruk Berastagi, mulai dari seluruh Jawa, terutama Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Batam, Pekanbaru dan Medan hingga ekspor ke luar negeri melalui eksportir di Malaysia dan Singapura.
Mampukah jeruk Berastagi bertahan, ditengah ketidakpastian harga jual dan sengatan dahsyat lalat buah yang belum teratasi hingga saat ini. Jangan sampai jeruk Karo yang selama ini cukup terkenal tinggal kenangan. (R1)