Jakarta, Karosatuklik.com – Pancasila dicetuskan dan ditetapkan sebagai dasar negara dengan tujuan menjadi alat pemersatu serta pedoman negara Republik Indonesia. Namun, sebagian pihak meyakini rezim demi rezim menyalahgunakan Pancasila sebagai alat kekuasaan.
Pancasila lahir dalam rapat Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Merujuk risalah rapat BPUPKI, Mohammad Yamin, Soepomo dan Sukarno menyampaikan gagasan tentang dasar negara Indonesia setelah merdeka.
Anggota rapat lantas menyetujui konsep yang diusung Sukarno lewat pidato menggebu-gebu pada 1 Juni 1945. Kemudian, dibentuk panitia untuk menindaklanjuti usulan Sukarno hingga Pancasila ditetapkan.
Ria Casmi Arrsa dalam bukunya bertajuk Deideologi Pancasila (2011), menyebut perdebatan dasar negara Indonesia belum selesai meski sudah merdeka. Terlihat dari rapat-rapat Dewan Konstituante yang dipenuhi gesekan pandangan.
Dewan Konstituante sendiri dibentuk dari hasil Pemilu 1955 yang bertugas menyusun undang-undang dasar (UUD) baru. pengganti UUD Sementara tahun 1950.
Rapat Dewan Konstituante selalu panas. Fraksi-fraksi partai politik dan golongan di dalamnya tak pernah bisa mencapai kata sepakat.
Sebanyak 52 persen anggota Konstituante setuju Indonesia tetap menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Di saat yang sama, 48 persen lainnya memilih Islam sebagai dasar negara.
Sukarno, yang saat itu menjabat sebagai kepala negara, gusar lantaran Dewan Konstituante tak kunjung mampu menghasilkan UUD yang baru. Dia lalu membubarkan Dewan Konstituante.
Sukarno kemudian menerbitkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Dia kembali menerapkan UUD 1945 lalu memulai rezim Demokrasi Terpimpin atau yang kerap disebut sebagai Orde Lama.
Orde Lama
Di masa Demokrasi Terpimpin, Sukarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalis, Agama, Komunis). Dia berupaya merangkul kelompok komunis yang selama periode 1950-an kerap tidak diajak kelompok nasionalis dan agamis dalam pembentukan kabinet parlementer padahal memiliki suara keempat terbanyak di DPR.
Arrsa menilai konsep Nasakom merupakan awal membawa Pancasila sebagai alat politik. Semua seolah dipaksa setuju, padahal kala itu pertentangan kelompok agamis dengan komunis sudah sangat kental di berbagai lapisan masyarakat.
“Dikeluarkannya ajaran Nasakom sama saja dengan upaya untuk memperkuat kedudukan presiden sebab jika menolak Nasakom sama saja dengan menolak presiden,” tulis Arrsa dalam buku tersebut.
Di masa itu, Sukarno membubarkan Partai Sosialis Indonesia dan partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi).
Sukarno juga menasbihkan dirinya sebagai kepala negara, kepala pemerintahan serta panglima angkatan perang. Semua anggota DPR pun ditunjuk olehnya.
Orde Baru
Pada era 1960-an, Arrsa menyebut Pancasila digunakan oleh kelompok antikomunis. Kelompok itu memakai Pancasila sebagai pembenaran atas pembantaian massal terhadap orang-orang yang dianggap komunis setelah prahara 1965.
Orde Baru melanjutkan kecenderungan penggunaan Pancasila sebagai alat kekuasaan. Soeharto memberi tafsir tunggal kepada Pancasila. Ia juga menjadikan Pancasila sebagai ideologi yang tidak dapat diganggu gugat.
“Formulasi yang dicetuskan oleh Soeharto untuk memberikan tafsir terhadap Pancasila dengan pedoman, penghayatan, dan pengamalan Pancasila (P4) yang mana eksistensi keberadaan P4 diperkuat melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978,” ucap Arrsa.
Arrsa menyebut Orde Baru juga mendelegitimasi Sukarno lewat tafsir Pancasila mereka. Salah satu manuver Orde Baru adalah menggelar Simposium Kebangkitan Semangat 66: Mendjelajah Tracee Baru di Universitas Indonesia, 6-9 Mei 1966. Simposium menyatakan Nasakom gagal.
Reformasi
Pada awal reformasi 1998, Arrsa menilai para pemimpin menghindari pembicaraan Pancasila. Mulai dari B.J. Habibie hingga Megawati jarang tampil untuk menyuarakan nilai-nilai Pancasila dan penerapannya.
Dugaan Arrsa itu dikuatkan lagi oleh pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 Juni 2006. SBY mengakui pembahasan Pancasila mulai luput dari ruang publik sejak Orde Baru runtuh.
“Kita merasakan, dalam delapan tahun terakhir ini, di tengah-tengah gerak reformasi dan demokratisasi yang berlangsung di negeri kita, terkadang kita kurang berani, kita menahan diri, untuk mengucapkan kata-kata semacam Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, NKRI, Bhinneka Tunggal Ika, Wawasan Kebangsaan, Stabilitas, Pembangunan, Kemajemukan dan lain-lain,” ucap SBY.
“Karena bisa-bisa dianggap tidak sejalan dengan gerak reformasi dan demokratisasi. Bisa-bisa dianggap tidak reformis,” sambungnya.
Pancasila kembali sering didengungkan pada masa pemerintahan Joko Widodo. Pada 2016, Jokowi menetapkan 1 Juni sebagai Hari Lahir Pancasila lewat Keputusan Presiden Nomor 24 tahun 2016. Hari Lahir Pancasila 1 Juni juga ditetapkan sebagai hari libur nasional.
Selain itu, Jokowi juga membentuk Badan Ideologi Pembina Pancasila (BPIP) pada 28 Februari 2018. Badan itu sah terbentuk dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila sebagai landasan.
Stempel Politik
Pakar hukum tata negara Refly Harun menilai ada kecenderungan penyalahgunaan Pancasila sebagai alat politik di berbagai era. Dia berpendapat kecenderungan itu juga terjadi di era pemerintahan Joko Widodo.
Refly berpendapat ada pemisahan antarkelompok masyarakat di masa pemerintahan Jokowi. Dia menyebut kelompok yang tidak sejalan dengan pemerintah akan dirundung oleh buzzer atau pendengung di media sosial.
Para buzzer, kata dia, akan menggunakan Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai stempel politik. Kelompok yang tak sejalan akan dicap tidak Pancasilais.
“Itu sudah terjadi sejak zaman Bung Karno, sejak Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi, terutama pada zaman Presiden Jokowi mulai lagi Pancasila dijadikan stempel, judgement. Misalnya, untuk menilai saya Pancasila bahwa yang lain bukan,” kata Refly saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (27/5)
Pendapat serupa juga disampaikan pengamat politik Universitas Andalas Asrinaldi. Dia berpendapat ada kecenderungan Pancasila digunakan sebagai alat penghakiman tetapi bukan di pengadilan.
Asrinaldi melihat penghakiman itu dilakukan terhadap kelompok-kelompok yang keras mengkritik pemerintah. Lebih khusus, terhadap kelompok beraliran Islam.
“Saya pikir itu jadi justifikasi ya bahwa ini dianggap tidak Pancasilais. Dikait-kaitkan ke sana. Sebenarnya kalau kita lihat ada label Islam garis keras, radikalisme, barang kali tidak sesuai Pancasila, tapi kalau hanya kesadaran mereka menjalankan agama kan dijamin Pancasila,” ucap Asrinaldi kepada CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).
Terpisah, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Antonius Benny Susetyo membantah anggapan-anggapan itu. Dia menegaskan pemerintahan Jokowi tak pernah menggunakan Pancasila sebagai alat politik kekuasaan.
Benny menyampaikan penggunaan Pancasila sebagai alat pemukul lawan politik terjadi pada Orde Baru. Ia mengenang perjuangannya menolak penggusuran Kedung Ombo saat Orde Baru hendak membangun waduk dengan pendanaan Bank Dunia.
“Kalau Orde Baru kita ngomong saja enggak bisa apa-apa, dikejar-kejar. Ketika Kedung Ombo kan alasannya itu. Orang yang menolak pembangunan Kedung Ombo kan disebut antipancasila, di-PKI-kan,” ucap Benny saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (28/5).
Dia menyebut keadaan berubah pascareformasi. Menurutnya, saat ini Pancasila telah kembali menjadi ideologi dan dasar negara, bukan alat politik kekuasaan.
Lebih lanjut, Benny menilai pemerintahan Jokowi juga tak mengotak-atik Pancasila sebagai dasar negara. Dia menyebut pemerintah tidak pernah menyingkirkan orang-orang yang mengkritik.
“Kekhawatiran itu berlebihan lah. Kenyataannya negara ini demokratis kok. Justru yang ditangkap itu ketika menyebarkan kebencian, SARA, menyebarkan yang meresahkan publik, itu yang diproses,” ucapnya. (cnnindonesia.com)