Phestanta Surbakti, “Doni Enda Seh Ulina – Andiko Jilena” Bagi Sejarah GBKP

Karo3082 x Dibaca

Kabanjahe, Karosatuklik.com – Menyesal. Itulah kata yang muncul di dalam hati saat Phestanta Surbakti meninggal dunia di RS Mitra Sejati Medan 2 Maret 2021 pukul 23.20 WIB. Saya menyesalkannya karena tidak dapat menyaksikan almarhum untuk terakhir kalinya dalam wujud sehat sebelum ia memenuhi panggilan Tuhan.

Saya sedang di rumah saat itu, ya rumah yang juga dekat dengan rumah almarhum. Meski keberangkatannya ke RS Mitra Sejati masih sempat saya tegur. “Megenggeng ya, “ kata saya sore itu, yang artinya tabah dan kuat.

Saya pastikan teguran ini tidak lagi didengarnya dengan baik, buktinya ia menjawabnya hanya dengan mendehem. Atau teguran itu memang lemah, sebab disampaikan layaknya seorang yang sedang lemah pula.

Bapa Evin, demikian saya memanggil pendeta pensiunan GBKP tersebut, berangkat ke RS Mitra Sejati ditemani istri dan anak – anaknya.

Disana sudah bersiap tim medis sekelas VIP menanti kedatangan almarhum sebagaimana disampaikan Manager Operasional RS Mitra Sejati, Hieronimus S Meliala.

Pepohonan duku di sekeliling rumah Phestanta Surbakti tampak tanpa gerak tanpa angin, kecuali rembulan yang muncul perlahan di balik awan.

Malam penantian jenazah almarhum, bumi seakan berhenti di sumbunya, kondisi cuaca dan angin serasa menambah duka dan kesedihan.

Ya, di antara pepohonan duku tanpa buah tengah malam itu, saya duduk dan membatin, Phestanta Surbakti sudah menggenapi laku “dari Tuhan kembali ke Tuhan”.

Ajaran non – verbal yang menjadi bahan baku aktifitas almarhum sepanjang pengabdiannya di “ ladang Tuhan”.

Soal kotbah, sudahlah. Puluhan ribu atau sampai ratusan ribu umat mungkin sudah menyaksikannya. “Ajaran” lain di seputar itu, berkali – kali menjadi tema serius kami saat duduk berdua di teras rumahnya yang teduh.

Pengalaman inilah mungkin satu diantara warisan hidup yang ditinggalkannya buat dikenang.

Adalah tentang 52 liturgi yang dikritisinya, sermon pelayan yang dipandang mulai apa adanya, buku-buku bimbingan yang bukan membimbing, serta manajemen pelayanan serasa stagnan.

Wajahnya bahagia seakan bahan diskusi itu adalah menu kesehatan rohani dan diperlukan umat. Pemilik usia 77 tahun tersebut bersemangat manakala membicarakan pembinaan dan pelayanan umat. Seakan tanpa beban, lepas, bebas dan tanpa sakit.

Rasanya, saya harus mengaku berutang pada almarhum sebab pengalaman bersama dengannya yang tidak dituliskan atau dibagikan kepada masyarakat lumayan bernas disimak.

Hal demikian, tidak banyak dilakukan tokoh rohani Kristen dan sempat menuliskan uneg-unegnya. Wajarlah, alasan etika atau momen.

Beruntung juga saya sempat memiliki pendeta dengan seabreg talenta dan membagikannya di tulisan ini.

Saya juga beruntung pada almarhum tentang bagaimana menghargai persahabatan. Saya selalu mendengar dengan baik ketika disebutkannya tentang manajemen di Moderamen GBKP.

Waktu keluarga ini dimutasi serta soal putranya yang juga mengikuti jejaknya sebagai pendeta sampai kedekatannya dengan petinggi di luar komunitasnya, deretan daftar ini masih bisa saya perpanjang andai ruang tulisan tidak terbatas.

Untuk ajaran yang disampaikan almarhum secara verbal tak terhitung. Bicaranya sangat rasional, terstruktur dan berkerangka. Beberapa penekanan dalam uraian-uraian itu selalu ditandaskan dengan aksentuasi gerakan tangan kanan di depan wajahnya.

Bila saya meminta contoh konkret barulah ia memberikan contoh-contohnya. Misalnya dalam pelayanannya di satu desa, ia “dikerjai” sekelompok pria usil dengan mencuri semua pakaiannya saat ia sedang mandi siang di pemandian umum.

Baju, pakaian dalam serta celana ganti dilarikan pria tersebut yang membuatnya berjam- jam harus bertahan di pemandiam umum menantikan warga masuk kesana .

Diceritakannya, hari menjelang sore. Tiba- tiba ia mendengar suara seorang ibu menuju pemandian, sebagaimana lazimnya pemandian umum desa yang tentu jauh dari hingar bingar kota, posisi kamar mandi pria dan wanita dibangun bersebelahan, Ia kenal ibu satu ini jarang beribadah ke gereja, namun saat pendeta ini meminta bantuan, ibu ini langsung memberikan sehelai kain sarung untuk dipakai.

Begitulah jalan panjang dan penuh berliku yang pernah dilaluinya. Kabarnya pria usil yang melakukan aksi nekad itu akhirnya terpanggil juga menjadi pelayan Tuhan di desa tersebut.

Demikian juga saat ia mesti melayani ke desa terpencil menggunakan sepeda motor zaman dulu (zadul). Saat kembali dari desa itu hujan turun deras dan kendaraan mogok. Gelap, sepi dan basah.

Ia berdoa kepada Tuhan agar diberi bala bantuan sebab pekerjaan pelayanan sudah dilakukannya dengan baik. Tidak berapa lama, dua pria mendatanginya di malam gelap itu dan meminta pendeta ini naik ke sepeda motornya lalu mereka menyorong dari belakang.

Keesokan harinya, ia kembali lagi ke desa, ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua pria penolongnya kemarin. Anehnya, satupun pria di desa tersebut tidak mengakui melakukan hal itu.Lalu siapa ?

Diskusi lainnya, soal pembekalan generasi muda gereja. Katekisasi yang ada selalu diperkaya dengan kreatifitas tambahan guna kesempurnaan.

Misalnya, membekali anak muda dengan kearifan lokal. Mereka mesti mengetahui asal – usul marga yang melekat padanya dan memraktekkannya saat berhadapan dengan marga lain di hadapanya.

Saya tidak bisa menahan air mata, saat Plh Ketua Moderamen GBKP Pdt Sarianto Purba STh, M. Min dan Sekum Moderamen GBKP Pdt. Rehpelita Ginting STh, M. Min menyampaikan pesan dan kotbahnya di GBKP Nogio Delitua, 4 Maret 2021.

Keduanya mengakui kapasitas almarhum yang tidak mungkin lepas dari perjalanan sejarah GBKP. Ya, beberapa nyanyian kidung ibadah adalah ciptaan almarhum, semisal “Andiko Jilena” (No.260) dan “Doni Enda Sehulina” (No.262).

Phestanta Surbakti, kini dimuliakan di desa yang didirikan kalimbubunya Sembiring Meliala. Desa Rumah Gerat Dusun Berampu Kecamatan Birubiru Deliserdang sekira 25 kilometer arah Selatan Kota Medan tempatnya bersitirahat.

Posisi makamnya cukup menyolok mata saat berkunjung ke desa ini. Selain ditata keluarga dengan baik, alam yang mengitari lokasi ini cukup asri dan bergabung dengan makam keluarga dekat lainnya. (Jenda Bangun, Jurnalis dan Budayawan)