Putusan MK Soal UU Ciptaker Dinilai Ambigu, Ini Alasannya

Politik1547 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkesan tidak konsisten dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum hingga bisa menjadi sumber munculnya perselisihan dalam implementasinya.

Denny mengakui bahwa putusan MK ini mencoba mengakomodir berbagai kepentingan dan berusaha mencari jalan tengah, akhirnya Putusan MK menjadi ambigu dan tidak konsisten.

“Mahkamah pada awalnya terkesan tegas ketika menyatakan bahwa UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945, karena tidak sejalan dengan rumusan baku pembuatan undang-undang,” kata dia dalam keterangan resminya, dikutip Sabtu (27/11/2021).

Namun, karena alasan memahami alasan ‘obesitas regulasi’ dan tumpang tindih antar-UU, MK memberi pemakluman inkonstitusionalitas itu diberi masa toleransi paling lama dua tahun. Sehingga jika dalam dua tahun tidak dilakukan perbaikan berdasarkan landasan hukum yang baku, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.

Untuk itu, Denny menyimpulkan setidaknya terdapat empat poin yang ambigu terkait langsung dengan keputusan MK tersebut.

Pertama, ketika UU ini telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, namun masih diberikan ruang untuk berlaku selama dua tahun. Alasannya karena sudah banyak diterbitkan aturan pelaksanaan dan telah pula diimplementasikan.

“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Cipta Kerja, dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” ungkapnya.

Kedua, terkait dengan 12 putusan yang dikeluarkan bersamaan dengan UU Cipta Kerja pada tanggal 25 November 2021, 10 di antaranya ‘kehilangan objek’ karena Putusan MK 91 sudah menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional).

“Pertanyaan kritisnya, objek mana yang hilang? Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Cipta Kerja maksimal selama dua tahun (vide Amar 4 Putusan 91 MK). Sehingga bagaimanapun ada kemungkinan isi UU Cipta Kerja tetap berlaku selama dua tahun tersebut,” lanjutnya.

“Tegasnya, UU Cipta Kerja mungkin masih berlaku dalam maksimal dua tahun itu, sehingga objek uji materi seharusnya masih ada, dan menjadi ambigu ketika dikatakan ‘kehilangan objek’ untuk diuji isi UU tersebut.”

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Denny Indrayana menilai bahwa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja terkesan tidak konsisten dan akan menimbulkan ketidakpastian hukum hingga bisa menjadi sumber munculnya perselisihan dalam implementasinya.

Ketiga, keputusan tersebut masih memberikan ruang bagi UU ini untuk diberlakukan. Namun dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materiil.

“Dengan memutuskan tidak menerima semua pengujian materiil, apakah itu berarti Putusan MK 91 telah menjadi dasar terjadinya ‘impunitas konstitusi’ bagi norma-norma dalam UU Cipta Kerja yang berpotensi melanggar UUD 1945?,” tegas dia.

Keempat, karena mencari kompromi yang justru terjebak menjadi tidak tegas, putusan MK menimbulkan multi tafsir apakah masih bisa dilaksanakan atau tidak.

Denny mengungkapkan ada dua kubu, yakni pihak yang berpandangan UU Cipta Kerja masih bisa dilaksanakan dalam dua tahun dan pihak lain yang berpendapat UU Cipta Kerja tidak boleh lagi diimplementasikan sama sekali.

Meski pada paragraf 3.20.5 dalam putusan itu ditegaskan meskipun masih berlaku, pelaksanaan UU Cipta Kerja yang “strategis dan berdampak luas … agar ditangguhkan terlebih dahulu”, demikian pula tidak dibenarkan menerbitkan kebijakan “strategis yang dapat berdampak luas”.

Lalu tidak pula “dibenarkan membentuk peraturan pelaksanaan baru”. Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan “strategis” dan “berdampak luas”.

Pertimbangan tersebut dikuatkan menjadi amar ke-7 Putusan MK 91, yang memerintahkan, “menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja”.

Namun Denny menilai amar ke-7 tersebut secara interpretasi terbalik (a contrario) MK memberi ruang bagi berlakunya UU Cipta Kerja, peraturan pelaksanaan, dan kebijakan yang lahir dari UU Cipta Kerja itu sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas.

Sebab tidak ada dampak dari UU ini yang tidak berdampak strategi dan luas.

“Apakah itu berarti MK mentoleransi suatu UU yang telah dinyatakan bertentangan dengan konstitusi hanya demi pelaksanaan yang sebenarnya tidak strategis dan tidak berdampak luas?” tegasnya. (R1/CNBCIndonesia)