Masih Percaya dengan Mereka yang Suka Pamer Kekayaan di Instagram?

Berita, Headline1855 x Dibaca

Jakarta, Karosatuklik.com – Dalam sebuah perhelatan ulang tahun sebuah televisi swasta Indonesia Januari lalu, para ‘crazy rich Indonesians’ diundang hadir.

Gelar ini diberikan untuk anak-anak muda kaya-raya di Indonesia. Beberapa dari mereka tak segan memamerkan kekayaannya kepada publik, dari tumpukan uang, rumah seperti istana, hingga kendaraan mewah.

Di antara tujuh orang yang mendapat sebutan “sultan” tersebut adalah Doni Salmanan dan Indra Kenz.

Kiky Saputri yang bertugas me-‘roasting’ para “sultan” di atas panggung menyebut Indra Kenz pernah mengaku membeli mobil listrik seharga Rp1,8 miliar pada pukul 3 pagi karena tidak bisa tidur dan membeli kaos seharga Rp300 juta yang disebutnya “murah banget”.

Sementara Doni Salmanan, yang disebutkan berpenghasilan Rp30 miliar per bulan, pernah me-‘nyawer’ seorang ‘gamer’ Rp1 miliar hanya karena Doni mengatakan ia sedang ‘gabut’.

Para penonton memberikan tepuk tangan yang meriah mendengar cerita para ‘crazy rich’, tapi ada sepasang mata yang menyaksikannya di rumah dengan perasaan tak menentu.

“Saya nontonnya marah, tapi juga khawatir akan lebih banyak orang yang akan berakhir seperti saya,” kata Maru Nazara.

Masih Percaya dengan Mereka yang Suka Pamer Kekayaan di Instagram?

Termakan konten media sosial

Maru bersama tujuh orang lainnya melaporkan Indra Kenz ke polisi atas tuduhan penipuan melalui platform binary options bernama ‘Binomo’.

Maru mengatakan yakin dan tertarik untuk menginvestasikan uangnya di ‘Binomo’ setelah menonton konten yang diunggah oleh para “mentor”, atau yang disebut juga “afiliator”.

“Saya [waktu itu] yakin 100 persen ia [Indra Kenz] benar-benar menang trading seperti di YouTube itu dan saya lihat kan ada strateginya, … ada metodenya yang bisa dipelajari,” ujar Maru kepada ABC Indonesia.

Maru mengatakan Indra Kenz mengunggah video setiap hari.

Ia mempertontonkan profit puluhan juta yang bisa didapatkan dalam beberapa menit, hingga membeli barang-barang mewah seolah sebagai “validasi” dari profit yang dibuatnya.

“Berarti benar dong itu hasil dari trading-nya, jadi saya merasa ada harapan di sini dan membuat saya percaya.”

Masih Percaya dengan Mereka yang Suka Pamer Kekayaan di Instagram?

Menemukan ‘kejanggalan’ berulang

Sebelum membuka akun di “Binomo”, Maru mencoba terlebih dahulu melakukan ‘trading binary option’ di laman simulasi yang disediakan.

“Rasanya mudah dan saya jadi tambah yakin,” kata Maru yang sebelumnya pernah melakukan investasi saham.

Kemudian Maru mengatakan ia diminta untuk “menebak” fluktuasi nilai investasi yang dipilihnya. Jika tebakannya benar, maka nilai investasinya bertambah 80 persen.

“Kalau tebakannya salah, investasi kita hangus 100 persen, dan untuk memulainya lagi ada sistem kompensasi sehingga deposit yang selanjutnya harus 2.5 kali dari nilai investasi terakhir kita,” jelas Maru.

Tapi kemudian Maru menemukan beberapa “kejanggalan” yang berulang, seperti sistem yang ‘hang’ saat ia menang atau nilai investasi otomatis ter-klik lima kali.

“Tapi saat saya melaporkan kejanggalan-kejanggalan itu pada mentor, mereka mengatakan tetap percaya pada sistem dan bahkan meminta kami untuk tidak putus asa.”

Dalam enam bulan, Maru mengaku kehilangan sekitar Rp600 juta, yang adalah uang modal usahanya. Ia juga menyisakan utang pada sanak saudaranya.

“Saya jatuh sakit akibat stress dan depresi selama tiga bulan karena kehilangan semua modal usaha saya.”

“Saat itu saya merasa, kalau mereka bisa sukses dan saya tidak, berarti saya yang gagal, saya yang tidak mampu menganalisa dengan baik.”

Tapi kemudian Maru tahu jika ia tidak sendirian.

Mereka yang mengaku menjadi korban menduga platform ‘binary options’ ini telah melakukan tindak penipuan, yang didukung oleh para mentor “influencer” atau “afiliator”.

Menurut Finsensius Mendrofa, pengacara yang mewakili mereka yang mengaku jadi korban ‘Binomo’ dan ‘Quotex’, ada di antara mereka melaporkan saldo yang hilang tiba-tiba, dana yang tidak bisa ditarik, dan akun yang ter-blokir.

‘Binary options’ adalah bentuk trading yang sangat spekulatif, yang disamakan oleh para ahli dan regulator dengan perjudian.

Laporan ABC di tahun 2018 pernah memaparkan bagaimana scam di balik binary options ini bekerja.

Masih Percaya dengan Mereka yang Suka Pamer Kekayaan di Instagram?

Pamer harta sebagai kedok

Akhir Februari lalu, hanya sebulan setelah penampilannya di televisi, Polisi menyatakan Indra Kesuma atau yang dikenal dengan Indra Kenz sebagai tersangka dugaan investasi bodong ‘trading binary option’ lewat aplikasi ‘Binomo’ yang sudah masuk dalam daftar ‘trading’ ilegal di Indonesia.

Kepala Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan mengatakan berdasarkan hasil gelar perkara, “ditemukan dugaan tindak pidana judi online dan/atau penyebaran berita bohong atau hoaks melalui media elektronik dan/atau penipuan perbuatan curang dan/atau tindak pidana pencucian uang.”

Tiga minggu kemudian, Polisi menetapkan Doni Salmanan, yang duduk di sebelah Indra Kenz di panggung ‘crazy rich’ juga sebagai tersangka penipuan ‘binary option’ lewat aplikasi lain bernama Quotex.

“Tersangka DS (Doni Salmanan) melakukan perbuatan melawan hukum dengan cara membuat video dalam channel YouTube King Salmanan, yang berisikan berita bohong dan menyesatkan, dan mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, seolah-olah tersangka DS mendapatkan uang miliaran rupiah dari hasil bermain trading investasi di website Quotex dan melakukan flexing yang bertujuan untuk meyakinkan masyarakat yang menonton YouTube agar ikut bergabung dan bermain trading di website Quotex,” kata Dirtipidsiber Bareskrim Polri, Brigjen Asep Edi Suheri saat polisi memperlihatkan kepada wartawan aset-aset Doni Salmanan yang disita.

Doni yang berusia 23 tahun juga hadir dalam konferensi pers tersebut dan meminta maaf.

“Hari ini saya ingin meminta maaf … saya juga ingin memohon doanya kepada teman-teman semuanya, seluruh masyarakat Indonesia ini agar sanksi terhadap saya bisa diringankan,” ujarnya.

Setelah ditetapkan sebagai tersangka, polisi membekukan rekening milik keduanya dan menyita aset mereka.

Polisi menyebut saldo rekening Doni Salmanan yang dibekukan adalah sebesar Rp532 miliar di luar sejumlah aset berupa barang-barang mewah senilai Rp64 miliar.

Sementara polisi mengatakan aset Indra Kenz yang disita mencapai Rp57,2 miliar dan membidik ratusan miliar rupiah lainnya di beberapa rekening banknya.

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Polri menduga ‘afliliator binary options’ platform Qoutex mendapatkan keuntungan dari kekalahan anggota yang direkrut dengan menggunakan kode referal mereka.

“Dapat 80 (persen) dari kekalahan,” kata Kasubdit I Dittipidsiber Bareskrim Polri Kombes Reinhard Hutagaol.

Menurutnya setidaknya ada sekitar 25.000 anggota aktif di grup Telegram yang diduga bermain Qoutex dengan menggunakan kode referal milik Doni.

Sementara anggota aktif grup Telegram Indra ada 200.000 orang.

Masih Percaya dengan Mereka yang Suka Pamer Kekayaan di Instagram?

‘Mengapa harus cepat-cepat?’

Saat kasus penipuan yang melilit para crazy rich ini santer diberitakan, muncul satu video parodi di YouTube yang mencuri perhatian publik Indonesia.

Video itu berjudul ‘Review Private Jet Ala Indri Benz’.

“Hey guys, gue adalah Indri Benz. Yes Benz seperti Mercedes Benz and welcome to my private jet.”

Indri Benz diperankan oleh Grace Tahir yang berasal dari keluarga pengusaha terpandang di Indonesia.

Ayahnya, Dato Sri Tahir adalah pendiri Mayapada Group, sedangkan ibunya, Rosy Riadi adalah putri Mochtar Riady, pendiri Lippo Group yang membawahi beberapa bidang usaha seperti properti, rumah sakit, perbankan, media cetak, dan televisi berlangganan.

Keluarga Tahir termasuk orang terkaya ketujuh di Indonesia dan menduduki posisi 961 orang terkaya di dunia versi Forbes dengan harta yang ditaksir mencapai US$3,4 Miliar atau setara dengan Rp48,5 Triliun.

Grace tercatat sebagai Direktur Mayapada Hospital, Komisaris Utama Maha Properti Indonesia, serta Direktur Philips Indonesia. Tahun ini ia baru saja mendirikan Everest Media, yang juga memproduksi konten-konten media.

Kepada ABC Indonesia Grace menuturkan alasan di balik video parodi yang dinilai orang sebagai sindiran dari ‘the real crazy rich’ kepada ‘crazy rich’ ala media sosial.

“Memang budaya flexing itu is very different dengan yang selama ini ayah saya ajarkan,” ujar Grace kepada Hellena Souisa dari ABC Indonesia.

“Tapi saja saya enggak ada perasaan judgement terhadap mereka, karena menurut saya itu uang mereka, jadi ya terserah mereka kalau mereka mau tunjukkan, … sayangnya, it leads to criminal activities, dan itu yang berbahaya,” jelasnya.

“Itulah mengapa message dari video itu lebih untuk audiens-nya, bukan untuk orang yang bersangkutan. Karena at the end, semua orang bisa posting apa saja di media sosial, sehingga penonton lah yang harus lebih berhati-hati.”

Grace juga mengajak agar anak muda yang punya obsesi berpikir ulang tentang segala sesuatu yang “instan”.

Ia mengatakan tidak menyalahkan mereka yang sudah putus asa ingin menghasilkan uang, sehingga ingin menghasilkan uang secepat-cepatnya.

“Dan menurut saya mereka terdorong oleh sosial media. Pertanyaan saya mengapa dia harus cepat-cepat?”

Akademisi media dan komunikasi dari Universitas Indonesia, Dr Whisnu Triwibowo, mengatakan literasi digital masyarakat Indonesia masih rendah sehingga dengan mudah percaya dengan apa yang dilihat dari jejaring sosial.

“Di kehidupan nyata, sebelum ruang media sosial, kita tahu kapasitas keuangan mereka yang sebenarnya, intelektualitas mereka, kita tahu persis siapa orangnya. Sementara di media sosial, semuanya cenderung superfisial atau artifisial.”

Wishnu menambahkan kondisi ini diperparah oleh maraknya budaya “instan” sehingga media sosial menjadi tempat promosi yang efektif.

“Setiap orang yang sudah punya pikiran untuk memiliki sesuatu yang cepat sesuai interest-nya, tanpa perlu mengetahui latar belakang seseorang secara pasti,” katanya.

Dengan semakin banyaknya bermunculan ‘influencer’ dengan ‘follower’ ribuan bahkan jutaan di sosial media yang gencar melakukan ‘endorsement’ produk, Wishnu berharap pemerintah bisa segera mengambil langkah.

“Terobosannya harus dengan regulasi internet. Bahkan di Eropa di mana literasi digital sudah tinggi, mereka memiliki undang-undang internet,” jelas Wishnu.

Proses penyelidikan terhadap para selebritas yang mengumbar kekayaan di media sosial terkait dengan platform ‘binary options’ di Indonesia masih terus bergulir.

Finsensius Mendrofa, kuasa hukum dari kelompok yang merasa jadi korban, mengaku masih melakukan verifikasi ratusan laporan yang masuk, sambil mengawal laporan ke polisi.

“Harapan kami bukan saja agar uang milik para korban ini bisa dikembalikan melalui pembekuan dan penyitaan aset, tapi juga supaya polisi bisa mengusut sampai ke platform [Binomo dan Quotex] yang menurut kami melakukan penipuan.”

ABC sudah berusaha menghubungi ‘Binomo’ dan ‘Quotex’ untuk memberikan komentar. (ABCIndonesia/Suara.Com)