Harga Berfluktuatif, Petani Tembakau Rentan Dililit Rentenir

Berita1417 x Dibaca

Payung, Karosatuklik.com – Desa Batukarang, Kecamatan Payung Kabupaten Karo sudah lama dikenal sentra produksi tembakau terbesar selain cabai dan padi di daerah itu. Harga jual cepat berfluktuatif, petani tembakau mudah dililit rentenir, mereka butuh perhatian pemerintah menepis anggapan petani tembakau tidak berarti apa-apa dimata pemerintah.

Bahkan, desa terbesar dan terpadat penduduknya di luar Kabanjahe dan Berastagi itu, pernah mengharumkan nama Tanah Karo, penghasil tanaman vanili terbaik ke dua kualitasnya setelah Bali di Indonesia.

Hamparan tanaman tembakau di kiri kanan jalan menuju desa yang berpenduduk 1.800 kepala keluarga (KK) yang sekarang sudah dimekarkan menjadi dua desa itu yang berjarak sekitar 6 km dari kaki Gunung Sinabung, terlihat begitu menghijau dengan udara yang sejuk. Namun tanaman tembakau “emas hijau” menurut warga setempat, belum sepenuhnya memberi jaminan petaninya hidup sejahtera.

Tidak adanya perkembangan pasar membuat harga tidak stabil dan selalu berfluktuatif menjadi alasan yang utama, serta minimnya peran dan campur tangan pemerintah.

Untuk saat ini para petani hanya menjual hasil tembakaunya setiap Senin di Pusat Pasar Hasil Bumi Pasar (Pajak) Singa Kabanjahe saat hari pekan terbesar di Kabupaten Karo, hari Selasa saat pekan Tigabinanga serta hari Rabu di pekan Saribudolok, Simalungun.

“Harga yang tidak stabil ini juga menjadi salah satu faktor menurunnya jumlah petani tembakau,” Murniaty Br Karo, petani tembakau kepada karosatuklik.com, Sabtu (3/10/2020) Pukul 16.00 WIB.

Harga jual yang sering fluktuatif, membuat petani tembakau tidak berdaya selain pasrah. “Mau bilang apa, hari ini harga kualitas super kisaran Rp100 ribu per kg, Senin depan bisa anjlok menjadi Rp70.000 – Rp80 ribu per kg,” keluhnya.

Permasalahan lain, soal pemasaran, dari dulu cuma dipasarkan di Kabanjahe dan Tigabinanga saja. ”Maunya kan ke daerah lain juga, biar harga kompetitif,” ujarnya.

Untuk saat ini harga tembakau yang sudah diiris dan dikeringkan dan siap jual dengan kualitas super, per kilogram dijual kepada pedagang sekitar Rp100.000,- dan kualitas di bawahnya sekitar Rp80.000 ribu. “Jujur saja, petani tembakau dianggap tidak berarti apa-apa di mata dimata pemerintah,” katanya.

Menyiapkan tembakau sejak menanam sampai siap jual sangat menguras tenaga dan pikiran. Banyak petani yang mengerjakan ladang mengorbankan waktu, pikiran dan tenaga disamping modal yang besar tentunya. Tanaman tembakau bukan tanaman yang mudah dibudidayakan. Butuh kesabaran ekstra, telaten dan penjiwaan ‘keinginan’ tembakau.

“Demikian beratnya, tapi harga jual tembakau tak pernah menutup modal, pulang modal saja sudah syukur,” curhatnya sembari mengaku kebanyakan petani tembakau dililit utang dari para rentenir.
Belum lagi memikirkan cuaca yang tiba-tiba berubah, siang cuaca panas, bisa nanti sore hujan. Kadang kami kelabakan dibuat cuaca yang pagi sampai siang panas, tiba-tiba sore sudah hujan, tambahnya.

Butuh Mitra

Terpisah, akademisi dari Universitas Quality Berastagi, Ir Rafael Remit Winardy MP mengatakan, sudah saatnya Pemkab Karo mencari mitra petani tembakau daerah ini. “Masyarakat pertembakauan dalam hal ini petani, pedagang atau pabrikan saling bersinergi. Misalnya petani agar selalu menjaga kualitas produksinya,” imbuhnya.

Di lain pihak, pedagang pengumpul serta pabrikan agar bisa menciptakan iklim pasar secara wajar. Selama ini, dia menilai, ada beberapa hal perlu diluruskan, seperti pengambilan cethotan (contoh) berlebihan, atau potongan harga yang kerap dikeluhkan petani.

“Bila hal ini berjalan, pasar akan baik. Saya lihat panen sekarang ada upaya petani untuk menjaga kualitas. Hal ini sebaiknya ditanggapi pabrikan serta pedagang pengumpul secara positif, yaitu dengan memberi harga layak,” tambahnya. (R1)